New Post

6/recent/ticker-posts

Cerita Baltazur, sang buaya darat pertama

Baltazur Sang Buaya Darat

Teks. Edo Wallad

esekan-gesekan ranting yang sudah mengering diterkam teriknya siang di hutan bakau kepulauan Riau menimbulkan suara gemerisik yang mengganggu gendang telinga siapapun. Sementara itu sinar mentari menyeruak merangsek masuk di sela-selanya. Dan aku membiarkan perahu bermotorku mati dan meminggir terdorong ombak yang terus silih menyisir bergantian. Ini hari ketiga di pulau ke enam yang aku hampiri sejak aku berada di belantara hutan bakau Kepulauan Riau memburu keberadaan sang legenda; Baltazur Sang Buaya Darat.

Sendiri di antara ribuan pulau di semenanjung Sumatra untuk sebuah keberadaan dongeng mungkin terlalu absurd untuk didengar orang yang berpikir dengan rasio. Tapi sungguh, aku ingin bertemu dengan buaya ini.

Baltazur adalah buaya lelaki yang bisa bertahan di daratan berbulan dan mencari mangsanya. Dan yang unik lagi, mangsanya adalah selalu perempuan perawan cantik. Dari beberapa orang yang berkisah, menyebutkan Baltazur selalu memburu darah perawan. Mereka tidak mati dimakan. Setiap mayat korban yang dibawa ke rumah sakit dan divisum selalu mengalami ciri yang sama. Hanya keperawanannya yang hilang, dan badan utuh tidak dimakan.

Lalu bagaimana spekulasi bahwa pelakunya itu adalah seekor buaya? Tentu bukan sembarang. Karena Baltazur menyeret korbannya di depan orang banyak. Bukan sembunyi-sembunyi atau dikawal temaram malam. Sungguh aneh memang. Dan lebih menggelikan adalah setiap korban yang ditemukan sedang dalam keadaan tersenyum centil.

📣

Kubakar sebatang rokok lalu menghisapnya dalam. Kenapa aku begitu penasaran untuk berhadapan dengan sang legenda maut ini? Karena sejujurnya nuraniku yang banyak terusik. Bukan karena aku simpati dan rasa simpati kemanusiaan yang menyentuh oleh banyaknya jatuh korban Baltazur. Aku terusik karena julukan Buaya Darat yang melekat padaku sejak aku sekolah menengah ternyata direbut Baltazur begitu saja.

Maksudku, sejak aku bisa menikmati keindahan perempuan, sudah ratusan perempuan jadi korban rayuan gombalku. Menikmati sepadatan pinggul, mulusnya paha, kemilau langsat kulit, montoknya buah dada, ranumnya bibir, dan tentu saja hangat beceknya vagina. Mungkin begitu pula yang dirasakan Baltazur. Kesamaan ini yang menyeret aku di belantara hutan bakau kepulauan Riau.

Kutatap jam di lengan kiriku. Sudah pukul satu limabelas lewat. Dan di hari ketiga pencarianku, belum ada tanda-tanda Baltazur akan kutemui.

📣

Menurut kabar terakhir yang kudengar, Baltazur terakhir terlihat dan beraksi di sekitaran pulau hutan bakau ini. Di sebuah desa bernama Lubuk Huria. Dimana seorang gadis cantik berumur 16 tahun bernama Jingga menjadi korbannya. Ketika Baltazur beraksi di siang bolong saat Jingga lepas berperahu pulang sekolah yang berada di pulau lain dan harus dia seberangi setiap hari. Saat ia merapatkan perahunya tiba-tiba muncul-lah seekor buaya berwarna kebiruan menghampiri dengan mulut besar menganga. Lalu dengan taring yang berjumlah ratusan dan bentuknya seperti taring yang biasa dijadikan kalung oleh paranormal-paranormal lokal – menurut saksi mata – dia menyeret Jingga ke semak rawa-rawa. Saat itu bukannya tidak ada orang disekitar. Tempat Jingga menandarkan perahunya adalah pelabuhan nelayan yang ramai, siang itu ada puluhan nelayan yang baru juga pulang berlayar. Dan mereka hanya bisa ternganga – bahkan menurut cerita seorang anak kecil yang kuinterogasi dengan upah sebatang coklat, ada beberapa yang meneteskan liur – menyaksikan Baltazur menyeret Jingga.

📣

Kali ini nuraniku benar-benar terganggu, kubaca surat kabar yang selalu datang telat di pulau Andalas ini. Menurut berita disalah satu kolom Baltazur kembali beraksi. Dan yang makin membuatku marah ialah, Baltazur beraksi di pulau bernama Tanah Gosong sebelah selatan dari pesisir Singkel, Aceh. Sial. Dia beraksi di pesisir kampungku. tapi diam-diam aku kagum. Dalam tiga hari dia bisa menyeberang dari kepulauan Riau yang menghadap ke laut China selatan ke kepulauan Aceh yang menghadap ke Samudera Hindia.

Akan kukejar kau Baltazur.

📣

Tanah Gosong merupakan pulau berbukit dimana disana menetap sebuah suku bermata biru keturunan Portugis yang terkenal cantik-cantik perempuannya. Ketika Tsunami menyapu pesisir Aceh, mereka selamat semua karena bukit itu. Mungkin di sana adalah tempat yang benar untuk mencari jodoh seorang perempuan seiman, cantik, dan alim. Tapi jangan salah, ada cerita lagi bahwa kalau kita menyunting salah satu gadis Tanah Gosong kita akan selalu menetap di sana. Entah untuk apa. Itu sudah adat mereka. Mungkin menggarap rumput serupa singkong yang ajaibnya bisa dijual pada wisatawan bule dengan harga tinggi, dan dari penjualan rumput inilah -yang menurut kabarnya- lagi pesawat terbang RI-1 alias Seulawah itu bisa terbeli oleh Republik yang baru merdeka.

Baltazur sudah mengambil korban tujuh perawan hanya dalam dua minggu. Dua minggu yang kugunakan untuk naik kendaraan darat menuju pesisir pulau Singkel dari Padang.

Lagi-lagi aku menggunakan perahu. Kali ini aku menggunakan jasa seorang lokal pesisir yang hanya mau merapat sebentar di Tanah Gosong. Alasannya hari sudah teralu sore, dan dia tidak menjamin untuk datang menjemput, entah kenapa. Meski begitu aku tetap memesan agar dia mau kembali seminggu kemudian.

Aku membakar rokok lagi, di senja yang mulai merayap di langit tanah suku bangsaku. Perairan Tanah Gosong sangat jernih, dan pasirnya adalah pasir putih dan bening yang bisa melukai kaki telanjang dalam sekejap. Pasir yang bening ini sebenarnya bisa dijadikan bahan dasar pembuatan kaca. Tapi karena ini adalah daerah tertinggal dan banyak orang asli Tanah Gosong yang berpendidikan malah mengadu nasib di pulau Jawa. Seperti aku, maka sumber daya alam itu terbengkalai.

Rokok sudah hampir menyentuh pantat ketika senja akhirnya menghilang, dan kulangkahkan kakiku tanpa tujuan.

Setelah melewati pantai aku mulai memasuki hutan dan ladang. Tetumbuhan dengan daun berbentuk menyerupai jari mulai kutemukan kala kakiku sudah mulai terasa menanjak. Kenapa aku malah menyeruak ke dalam pulau. Bukankah seekor buaya seharusnya ada di muara. Ah, tapi ini Baltazur. Sang Buaya Darat penghisap darah perawan. Entah kenapa perasaanku mengatakan untuk terus melangkah masuk menyeruak ladang tetumbuhan dengan daun berbentuk menyerupai jari.

Seekor kera berbulu emas tanpa buntut menghentikan langkahku. Di lehernya tersemat rantai. Kutelusuri ujungnya dan berharap sebatang dahan atau pohon sebagai akhirnya. Tapi aku salah, ujung rantai itu adalah lengan kekar seorang bersenjata AK yang sedang tidur. Kutaruh telunjukku di bibir sebagai tanda agar sang kera mau diam dan tidak bersuara. Tentu saja usahaku sia-sia. Kera itu memang dipakai untuk menandai kedatangan orang asing. Dan kera berbulu emas itu ternyata adalah seekor Howling Monkey Sumatera yang teriakannya sangat keras.

Mati aku.

📣

Pemilik kera yang berbaju bak milisi itu menggiring aku dengan menyorongkan moncong senjatanya ke dadaku. Akupun hanya bisa mengangkat tangan dan mengikuti perintahnya untuk terus berjalan. Sepanjang penggiringan itu ia terus berteriak dengan bahasa yang tidak aku mengerti. Sial. Kenapa aku tidak pernah mau belajar bahasa Aceh dari tanteku yang sudah ribuan kali menawarkan. Aku pikir balajar bahasa suku-ku itu hanya membuang waktu. Aku lebih memilih belajar bahasa Mandarin lantaran kepincut dengan gadis Glodok.

Akhirnya kami sampai di depan gubuk yang tampaknya menjadi markas sejenis milisi itu. Dan aku dihadapkan pada seorang yang berusia mungkin empat puluh pertengahan. Dia sepertinya adalah ketua dari mereka.

Kembali mereka menyuarakan bahasa yang kukenal namun tak kumengerti. Sang pemimpin tampak memberi perintah. Aku digiring ke dalam semacam jeruji kandang binatang buas. Merekapun mulai melucutiku. Rokok, uang, i-pod, makan
an kering, kamera, pisau lipat, Revolver untuk menembak Baltazur, pakaian ganti, sepatu, semua ludes.

Malampun berjalan. Aku tidur dalam letih dan ketakutan.

📣

Pagi itu aku terbangun oleh teriakan kera emas. Mereka kembali menggiringku. Dan di sebuah rawa mereka berhenti.

‘Pergi!’

Itu satu-satunya kata dari mereka yang kumengerti, dan akupun tidak ada niat untuk kembali ke ladang dengan tetumbuhan berdaun menyerupai jari dan dusun mereka.

📣

Matanya tajam menatapku, gigi-giginya yang runcing menyeret seorang gadis cantik bermata biru. Dia terus menghadapku. Terus menatap. Tidak memelototiku, karena aku tidak pernah tahu buaya bisa melotot, dan seingatku buaya memang tidak bisa melotot. Gadis bermata biru itu tampaknya pingsan. Belum mati, karena masih kulihat dadanya naik turun tanda ia masih bernapas.

Akhirnya aku berhadapan dengan Sang Legenda Maut, Baltazur Buaya Darat.

Kami saling menatap dan menerawang mata masing-masing. Aku tidak berani melakukan apa-apa, karena aku memang tidak memegang senjata apa-apa. Revolver-ku sudah dilucuti milisi lokal. Dan kini setelah berhadapan dengan Baltazur aku hanya bisa diam terkesima.

Tiba-tiba pikiranku seperti mendengar suara.

Dia bicara.

Seekor Buaya bicara denganku dalam bahasa yang bisa kumengerti. Sedang bahasa indukku sendiri aku tak mengerti, tapi aku mengerti apa yang dia katakan. Baltazur berkomunikasi denganku lewat telepati. Dan aku menjawabnya, juga dengan telepati.

‘Wahai manusia, biarkan aku lewat!’

‘Tidak!’

Entah apa yang menjalari tubuhku hingga berani menentang Baltazur.

‘Apa maumu?’

‘Lepaskan gadis itu!’

‘Untuk apa? Apakah dia kekasihmu? Atau calon istrimu? Sepertinya bukan. Kau memang berbau manusia pribumi tanah ini, tapi aku lihat mereka mengusirmu tadi pagi.’

‘Dia bukan kekasihku, dan dia juga bukan calon istriku, aku hanya ingin kau melepaskan gadis itu.’

‘Kenapa? Tidakkah kau lihat senyum di bibirnya? Aku hanya ingin dia mati senang. Tidak tersiksa oleh manusia laki-laki seperti dirimu.’

‘Baltazur, apa yang kau tahu dari diriku?’

‘Laki-laki dari spesies manusia hanya bisa menyiksa perempuannya. Dan mereka akan mati dengan beban, aku hanya ingin membebaskan mereka dari itu. Kau juga begitu bukan?’

Sejenak aku termangu. Lalu kilatan kilas bayangan perempuan yang pernah kusakiti menghujam benakku seperti titik-titik yang terus berkumpul membentuk satu sengatan di otak.

Aku terkulai lemas.

Ana yang kukhianati. Nadia yang kusakiti. Marian yang hanya semalam kucumbu. Jane yang tak pernah kutemui lagi. Pamela yang kini entah dimana. Pilar yang bahkan sudah kulupa wajahnya, walau harumnya tetap kuingat. Laras yang hanya bisa kubayangkan lekuk pinggangnya. Atau Monik yang sempat mengguguri kandungannya karena ulahku.

Aku terduduk, dan ini mengisyaratkan Baltazur untuk lewat.

Tiba-tiba Baltazur melepaskan cengkeramannya di pundak gadis itu.

📣
Aku memeluk istriku di malam dingin Jakarta pada musim hujan. Dalam hati aku berjanji tidak akan menyakitinya. Baltazur telah memberiku pelajaran agar tidak melakukan itu. Gadis yang berada dalam cengekeraman Baltazur saat itu, kini menjadi istriku tercinta. Tidak Baltazur, aku tidak akan menyakiti lagi wanita di hidupku. Apalagi wanita bermata biru yang telah kau serahkan padaku.

*Lelaki buaya darat…
Buset!
Aku tertipu lagi…

Posting Komentar

0 Komentar